Senin, 13 Agustus 2018

SENI DAN BUDAYA

Suatu Kajian Seni dan Budaya, Sebuah Pesona di balik Kesederhanaan Kelurahan Jahab.
Kamis, 26 Juli 2018. 08.00 a.m.
Sumber: Langit Senja kelurahan Jahab, Dokumentasi Penulis.

Jahab merupakan kelurahan yang berada sekitar 21 KM dari kota Samarinda, dan dapat ditempuh sekitar 58 menit dengan kecepatan rata-rata kendaraan roda dua. Daerah ini terletak di kecamatan Tenggarong, kabupaten Kutai Kartanegara, provinsi Kalimantan Timur. Memasuki batas wilayah kelurahan ini maka dapat terlihat pemukiman warga yang belum padat dan keasrian rimbunnya pepohonan di sepanjang kanan dan kiri jalan menuju kelurahan Jahab. Transportasi tidak seramai di kota-kota metropolitan dan nampak lebih banyak kendaraan berat dan besar yang kerap melintasi jalan Lintas Kalimantan Poros Tengah ini. Jahab merupakan deskripsi sebuah kesederhanaan masyarakat tradisional diantara transisi kemodernan zaman, dan sebuah potensi keanggunan akan Maha Karya Tuhan di balik keluguan budaya desanya. Walaupun tidak luput dari pembangunan modern dunia, Jahab tentu masih memiliki pesona akan keeksotisan sumber daya alamnya dan kebudayaan yang begitu murni masih terjaga. Di tengah-tengah pembangunan pesat daerahnya, Jahab masih begitu kental akan suasana keadatan dengan beragam sukunya.
Sumber: Tokoh Masyarakat Toraja Bpk. Nathan Roppen, Dokumentasi Penulis.
Keberagaman suku yang ada di Jahab ini terdiri dari suku Dayak, Toraja, Jawa, Kutai, Madura, Bugis, Banjar, dan Batak. Dengan nilai-nilai luhur budaya yang masih dipegang erat Jahab menjadi sebuah tempat yang ramah dan sangat terbuka kepada para pendatang. Salah seorang tokoh masyarakat dari kelurahan Jahab yaitu Bapak Nathan Roppen mengatakan bahwa “Selama kita adalah warga negara Indonesia, masuk ke daerah mana pun tidak masalah selama kita beretika baik dan tidak melakukan hal-hal yang aneh. Kecuali pendatang ini melakukan pelanggaran berat seperti menyebabkan perkelahian, membunuh, atau melakukan tindakan asusila, maka harus siap untuk diadili dengan hukum adat dan hukum pemerintah. Namanya manusia ini kita tahu bahwa latar belakangnya saling berbeda satu sama lain, sehingga ketika mengadakan
perkelahian atau konflik antar suku maka kita harus turun tangan menyelesaikan hal itu jangan sampai terjadi konflik antara suku dengan suku.” tutur beliau dalam kesempatan sillaturahim penulis ketika bertandang di kediaman beliau pada hari Selasa, 17 Juli 2018, 11.30 a.m.
            Tidak hanya suku warganya yang beragam akan tetapi dapat terlihat pula bahwa indahnya toleransi beragama dapat berjalan dengan baik di kelurahan ini, antar keyakinan agama hidup berdampingan dengan rukun dan begitu pula tempat-tempat peribadatan yang dibangun dengan merata sehingga masing-masing warga dapat menjalankan ritual ibadah keyakinan masing-masing dengan nyaman. Keberagaman suku dan keyakinan agama inilah yang turut menambah decak kagum pendatang dalam kebisuan seribu pesonanya yang tersembunyi dibalik kesederhanaan Jahab. Dari berbagai suku yang ada, hanya dua suku mayoritas yang masih sering melakukan peringatan upacara keadatan dan menjaga ritual keadatannya, yaitu suku Dayak dan suku Toraja. Dari kesenian dua suku ini pula lah kelurahan Jahab memberikan kontribusinya pada upacara adat tahunan Tenggarong yaitu Erau. Setiap tahun dari masyarakat suku Toraja kelurahan Jahab meramaikan festival budaya tahunan tersebut dengan tarian Pa’Gellu yang merupakan ciri khas tari daerah Sulawesi Selatan.
Tari Pa’Gellu merupakan tarian penyambutan yang khas dari Sulawesi Selatan. dulu tarian ini bertujuan untuk menyambut para pahlawan yang pulang dari medan perang, seiring perkembangan zaman tarian ini pun mengalami pergeseran fungsi sebagai tari hiburan mengingat tidak lagi ada peperangan antar suku. Tari Pa’Gellu dibawakan oleh beberapa penari wanita dan diiringi oleh musik tradisional yang khas, tari ini dibawakan dengan gembira sebagai ungkapan rasa syukur akan kebahagiaan yang mereka dapatkan [1].
Sumber: Ilustrasi Tari Pa’Gellu, Google.com
Selain kontribusi kesenian pada festival budaya Erau, dua suku mayoritas di Jahab ini juga masih menjaga ritual keadatannya dalam hal menghormati orang-orang yang sudah meninggal.  Bapak Nathan Roppen menuturkan “Orang mati sendiri memang sangat dihormati dalam budaya kami, apapun sukunya pasti memiliki ritual masing-masing dalam memberikan penghormatan terakhir kepada orang mati, karena setidaknya di akhir kehidupannya ia dikuburkan dengan baik dan layak. Meskipun tidak dilakukan secara besar dan mewah tetapi setidaknya telah menyesuaikan dengan aturan adat suku masing-masing. Namanya orang mati itu dihargai juga sampai pemakamannya, saat-saat terakhirnya di dunia.” Kedua suku ini memiliki keunikan yang sama dalam menghormati orang-orang yang telah meninggal. Begitu seseorang meninggal dunia, jasadnya tidak langsung dimakamkan, tapi disemayamkan terlebih dahulu selama berbulan-bulan, atau bahkan bertahun-tahun. Keduanya meyakini bahwa penghormatan melalui upacara sakral untuk orang yang sudah meninggal dapat menghindarkan kesulitan tersendiri bagi keluarga yang masih hidup. Uniknya lagi dua suku mayoritas Jahab ini memiliki beberapa kemiripan dalam rangkaian upacara adat kematiannya. Jasad-jasad yang akan diantarkan ke pemakaman diberikan korban hewan ternak seperti kerbau sebagai bentuk penghormatan terakhir yang dapat dilakukan oleh keluarga yang ditinggalkan. Sehingga tidak mengherankan jika pemakaman khas suku Toraja dan patung Blontang khas suku Dayak  dapat pula ditemukan di kelurahan ini.

Sumber: (Kiri) Rumah Pemakaman Patane khas suku Toraja,
(Kanan) Patung Blontang khas suku Dayak di kelurahan Jahab, Dokumentasi Penulis. 

Walaupun ada kemiripan prosesi mengorbankan hewan ternak diantara adat keduanya, akhir dari upacara ini memiliki ujung penyelesaian yang berbeda. Pemakaman khas suku Toraja dan patung Blontang khas suku Dayak akan penulis ulas secara bergantian.
1.    Makam Patane khas suku Toraja.
Masyarakat Toraja memang memiliki kebiasaan yang unik dalam memakamkan orang-orang yang sudah meninggal, mereka memiliki tradisi menyimpan mayat di goa-goa, tebing, maupun batang pohon raksasa [2]. Suku Toraja terkenal dengan bentuk-bentuk pemakamannya yang beragam, salah satunya yaitu Patane yang juga dapat ditemukan di Kelurahan Jahab. Pemakaman khusus suku Toraja ini terletak di belakang Gereja Protestan Indonesia bagian Barat (GPIB) Sion Jahab. Patane merupakan kuburan yang sudah modern karena dibuat menyerupai rumah tembok alias batu yang bahannya dari semen, batu, pasir, dan besi. Bentuk pemakaman ini beragam ada yang berbentuk segi empat seperti sebuah box hingga berbentuk peti mati dengan atap menyerupai rumah Tongkonan. Jenis pemakaman ini terdapat di semua kampung Toraja dan mudah ditemukan di Sulawesi Selatan. Mereka memperlakukan orang-orang yang telah meninggal layaknya orang yang masih hidup, dengan diberikan tempat pemakaman yang menyerupai rumah dan terkadang keluarga akan menyediakan makanan dan minuman di depan Patane. Dalam kepercayaan masyarakat Toraja, pemakaman merupakan peristiwa ketika jiwa seseorang akhirnya meninggalkan dunia ini dan memulai perjalanan panjang dan sulit ke pooya, tahap akhir dari akhirat, dimana jiwa akan bereinkarnasi. Maka untuk memudahkan perjalanan almarhum ke akhirat inilah keluarga menyembelih sebanyak-banyak kerbau di tanah lapang yang luas untuk dijadikan korban. Kerbau juga diyakini sebagai pembawa jiwa ke alam baka dan hal itulah yang menyebabkan keluarga mengorbankan hewan itu sebanyak yang mereka bisa untuk memudahan perjalanan almarhum ke alam baka. Pada suku Dayak sendiri upacara adat ini dikenal dengan nama Kwangkey, dimana kerbau akan ditombak beramai-ramai dan ditebas hingga mati di lapangan yang luas.
Sumber: Salah satu Patane di pemakaman suku Toraja Jahab, Dokumentasi Penulis
Dalam adat suku Toraja maka prosesi pengantaran jasad ke dalam Patane adalah ritual terakhir dari rangkaian upacara kematian. Bapak Nathan Roppen menuturkan bahwa “Bagi suuku Toraja kalau memang sudah dimakamkan itu tidak perlu diganggu lagi jasadnya, kecuali dibongkar dari tanah kemudian dipindahkan kedalam sebuah bangunan yang permanen yaitu Patane. Bisa memuat banyak orang di dalamnya. Artinya dibikin sebuah gedung kemudian seperti rumah permanen. Puluhan orang bisa muat disitu. Patane itu berbentuk bangunan bisa sampai 4x6 meter lebarnya lalu diletakkan mayat-mayat disana, tapi tidak semua orang bisa dimakamkan dalam satu Patane, hanya yang masih ada hubungan keluarga saja.” Meskipun upacara adat yang dilakukan tidak semegah perhelatan di Tanah Toraja, masyarakat Toraja yang ada di Jahab tetap mengupayakan untuk melestarikan budayanya di tahan perantauan, beliau menambahkan “Meskipun Toraja perantau, tetapi mereka masih mencoba untuk mengembangkan budaya masing-masing di perantauan ini. Perlengkapan tari seperti baju adat didatangkan langsung dari Toraja dan disimpan sebagai inventaris warga di sekretariatan Ikatan Keluarga Toraja (IKAT). Sedangkan suku Dayak sendiri mengolah langsung perlengkapan-perlengkapan upacara adat mereka termasuk pakaian untuk tari adat.”
Jasad-jasad yang telah diletakkan dalam Patane ini tidak akan diganggu atau dipindahkan tanpa alasan yang darurat. Sedangkan berbeda dengan suku Dayak, mereka sengaja menunggu jasad hingga tersisa tulang-belulang sebelum melanjutkan prosesi upacara adat pemindahan tulang.
  



  
Sumber: Rumah Pemakaman Patane khas suku Toraja, Dokumentasi Penulis.

2.    Patung Blontang khas suku Dayak.
Berdasarkan kajian ilmiah Latif (2013) Blontang merupakan tiang kayu yang tinggi, fungsinya untuk mengikatkan atau menambatkan binatang korban (biasanya kerbau atau sapi) dalam suatu upacara adat. Binatang ini ditusuk-tusuk agar darahnya menitis ke tanah di sekeliling tiang Blontang, baru kemudian dipotong. Bapak Nathan Roppen menambahkan bahwa “Menombak kerbau merupakan simbolisasi untuk mengakhiri upacara adat tersebut, untuk di Jahab sendiri upacara Kwangkey mereka lakukan di Gg. Menteng ada tanah lapang di atas gunung. Tapi belakangan ini sepi karena belum ada lagi yang melaksanakannya. Upacara ini pun panjang, rangkaian acaranya dapat terjadi dari 2 minggu hingga sebulan.”
Kemudian menurut Santosa dan Bahtiar (2016) patung Blontang merupakan patung alat upacara yang terbuat dari kayu ulin dan memiliki tinggi antara 2-4 meter dan dasarnya ditancapkan kedalam tanah sedalam 1 meter. Masyarakat Dayak diketahui memiliki kebudayaan yang unik dari sistem kepercayaannya hingga sistem kemasyarakatannya. Motif yang diterapkan pada seni ukirnya bukanlah sekedar hiasan bentuk saja melainkan sarat akan makna filosofis dan perlambangan keyakinan dari masyarakatnya.
. . .


  


















Sumber: Patung Blontang khas suku Dayak di kelurahan Jahab, dan
lapangan Gg. Menteng tempat berlangsungnya upcara adat Kwangkey, Dokumentasi Penulis.

Dapat disimpulkan dari berbagai definisi patung Blontang yang telah dipaparkan bahwa patung ini sendiri memiliki berbagai fungsi tergantung dari masyarakat yang menggunakannya. Dalam upacara adat kematian suku Dayak atau yang disebut dengan Kwangkey patung ini dapat beralih fungsi sebagai alat kelengkapan upacara untuk mengikatkan atau menambatkan hewan korban. Sedangkan patung Blontang yang diletakkan di pemukiman warga berfungsi sebagai simbol penghormatan keluarga terhadap almarhum yang telah meninggal. Patung Blontang pun dibuat berdasarkan kesan yang melekat pada diri almarhum dan menggambarkan pekerjaan yang dilakukan selama dirinya hidup. Jika sebagian besar mata pencaharian almarhum untuk bertahan hidup adalah berburu maka patung Blontang orang tersebut akan disertai ukiran busur, panah, Mandau, tombak,  dan perkakas berburu lainnya. Jika pada patung tersebut juga terdapat ukiran hewan seperti anjing, maka orang tersebut telah menjadikan peliharaan anjingnya sebagai teman pendamping seumur hidup. Atau simbol-simbol hewan lainnya dapat mewakili gambaran sikap pemberani, patriotisme, dan bertanggung jawab. Selain sebagai bentuk penghormatan, patung Blontang juga dapat berfungsi sebagai penjaga rumah atau kampung. Arah patung menghadap dan ukiran yang terdapat pada patung menyimpan setiap pesan yang ingin diabadikan keluarga sebagai penyanjungan terhadap almarhum.


Walaupun demikian kentalnya budaya adat dalam memperingati kematian, Bapak Nathan Roppen menegaskan bahwasannya hal ini (upacara adat suku Toraja dan suku Dayak) tidak selalu wajib dilakukan oleh anggota kesukuan masing-masing. Pertimbangan dikembalikan lagi kepada kesediaan keluarga yang melangsungkan upacara adat tersebut, karena biaya yang harus dirogoh tentu tidak sedikit untuk mempersiapkan segala alat kelengkapan upacara berikut hewan korbannya. Begitulah gambaran toleransi dalam kehidupan kemasyarakatan warga Jahab, di satu sisi budaya keadatan begitu dijaga dalam kesehariannya namun tidak menuntut adanya keharusan untuk melaksanakannya jika dirasa memberatkan. Adat juga tidak luput sebagai solusi dari penyelesaian masalah yang terjadi diantara warga Jahab, konflik-konflik warga masih diselesaikan dengan mediasi berdasarkan pertimbangan hukum adat masing-masing.
Selain kehidupan keseharian dan budaya yang terbalut dalam kesederhanaan, sebagian besar mata pencaharian warga juga masih bergantung pada ketersediaan sumber daya alam yang ada. Pekerja perusahaan sendiri belum begitu banyak, karena masih banyak mata pencaharian dari sumber daya alam yang digeluti oleh masyarakat sebagai sumber penghasilan sehari-hari. Disamping itu Jahab juga memiliki kekayaan budaya lainnya yang mungkin tidak terjamah oleh dunia luar, mengingat keberaneka ragaman suku yang hidup berdampingan di Jahab, tidak menutup kemungkinan bahwa desa ini masih memiliki seribu pesona tersembunyi yang belum dieksplorasi secara optimal. Wacana pengembangan Jahab menjadi desa budaya juga telah dicanangkan desas-desusnya untuk mendirikan Lamin khas suku Dayak dan rumah adat suku Toraja. Tidak hanya pengembangan potensi desa dalam hal budaya tetapi juga telah dicetuskan wacana pemekaran beberapa daerah disekitar Jahab untuk bergabung dan membentuk sebuah kecamatan tersendiri, kelurahan ini adalah Jahab, Loa Ipuh Darat, Bukit Biru, separuh Loa Ipuh Kota, dan Jonggon. Harapan setiap warga adalah Jahab dapat menjadi daerah yang terus berkembang maju dengan segala kesederhanaan dibalik potensinya
.
Sumber: (Kiri) Bapak Nathan Roppen sebagai Tokoh Masyarakat setempat dan (kanan) Penulis, sesi wawancara bersama Bapak Nathan Roppen, Tokoh Masyarakat, 17 Juli 2018,  Dokumentasi Penulis.

Penulis: Rabiatul Munawarah.

Referensi:
[1]http://www.negerikuindonesia.com/2015/10/tari-pagellu-tarian-tradisional-dari.html?m=1
[2]http://www.bbc.com/indonesia/majalah-39638082&hl=id-ID
Latif, F. 2013. Tarian dan Topeng Hudoq Kalimantan Timur: Suatu Kajian Filsafat Seni. Jurnal Humaniora, 4(1): 712-722.
Santosa, H., dan Bahtiar, T. 2016. Mandau Senjata Tradisional Sebagai Pelestari Rupa Lingkungan Dayak. Jurnal Seni dan Desain serta Pembelajarannya, 2(2): 47-56.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar