Kamis, 26 Juli 2018. 08.00 a.m.
Jahab merupakan kelurahan yang berada sekitar 21 KM dari kota Samarinda, dan dapat ditempuh sekitar 58 menit dengan kecepatan rata-rata kendaraan roda dua. Daerah ini terletak di kecamatan Tenggarong, kabupaten Kutai Kartanegara, provinsi Kalimantan Timur. Memasuki batas wilayah kelurahan ini maka dapat terlihat pemukiman warga yang belum padat dan keasrian rimbunnya pepohonan di sepanjang kanan dan kiri jalan menuju kelurahan Jahab. Transportasi tidak seramai di kota-kota metropolitan dan nampak lebih banyak kendaraan berat dan besar yang kerap melintasi jalan Lintas Kalimantan Poros Tengah ini. Jahab merupakan deskripsi sebuah kesederhanaan masyarakat tradisional diantara transisi kemodernan zaman, dan sebuah potensi keanggunan akan Maha Karya Tuhan di balik keluguan budaya desanya. Walaupun tidak luput dari pembangunan modern dunia, Jahab tentu masih memiliki pesona akan keeksotisan sumber daya alamnya dan kebudayaan yang begitu murni masih terjaga. Di tengah-tengah pembangunan pesat daerahnya, Jahab masih begitu kental akan suasana keadatan dengan beragam sukunya.
Sumber:
Tokoh Masyarakat Toraja Bpk. Nathan Roppen, Dokumentasi Penulis.
|
perkelahian atau konflik antar suku maka
kita harus turun tangan menyelesaikan hal itu jangan sampai terjadi konflik
antara suku dengan suku.” tutur beliau dalam kesempatan sillaturahim penulis
ketika bertandang di kediaman beliau pada hari Selasa, 17 Juli 2018, 11.30 a.m.
Tidak
hanya suku warganya yang beragam akan tetapi dapat terlihat pula bahwa indahnya
toleransi beragama dapat berjalan dengan baik di kelurahan ini, antar keyakinan
agama hidup berdampingan dengan rukun dan begitu pula tempat-tempat peribadatan
yang dibangun dengan merata sehingga masing-masing warga dapat menjalankan
ritual ibadah keyakinan masing-masing dengan nyaman. Keberagaman suku dan
keyakinan agama inilah yang turut menambah decak kagum pendatang dalam kebisuan
seribu pesonanya yang tersembunyi dibalik kesederhanaan Jahab. Dari berbagai
suku yang ada, hanya dua suku mayoritas yang masih sering melakukan peringatan
upacara keadatan dan menjaga ritual keadatannya, yaitu suku Dayak dan suku
Toraja. Dari kesenian dua suku ini pula lah kelurahan Jahab memberikan
kontribusinya pada upacara adat tahunan Tenggarong yaitu Erau. Setiap tahun
dari masyarakat suku Toraja kelurahan Jahab meramaikan festival budaya tahunan
tersebut dengan tarian Pa’Gellu yang merupakan ciri khas tari daerah Sulawesi
Selatan.
Tari Pa’Gellu merupakan
tarian penyambutan yang khas dari Sulawesi Selatan. dulu tarian ini bertujuan
untuk menyambut para pahlawan yang pulang dari medan perang, seiring
perkembangan zaman tarian ini pun mengalami pergeseran fungsi sebagai tari
hiburan mengingat tidak lagi ada peperangan antar suku. Tari Pa’Gellu dibawakan
oleh beberapa penari wanita dan diiringi oleh musik tradisional yang khas, tari
ini dibawakan dengan gembira sebagai ungkapan rasa syukur akan kebahagiaan yang
mereka dapatkan [1].
Sumber: Ilustrasi Tari Pa’Gellu, Google.com |
Sumber: (Kiri) Rumah Pemakaman Patane khas suku Toraja,
(Kanan) Patung Blontang khas suku Dayak di kelurahan Jahab, Dokumentasi Penulis.
Walaupun ada kemiripan
prosesi mengorbankan hewan ternak diantara adat keduanya, akhir dari upacara
ini memiliki ujung penyelesaian yang berbeda. Pemakaman khas suku Toraja dan
patung Blontang khas suku Dayak akan penulis ulas secara bergantian.
1.
Makam
Patane khas suku Toraja.
Masyarakat Toraja
memang memiliki kebiasaan yang unik dalam memakamkan orang-orang yang sudah
meninggal, mereka memiliki tradisi menyimpan mayat di goa-goa, tebing, maupun
batang pohon raksasa [2]. Suku Toraja terkenal dengan bentuk-bentuk
pemakamannya yang beragam, salah satunya yaitu Patane yang juga dapat ditemukan
di Kelurahan Jahab. Pemakaman khusus suku Toraja ini terletak di belakang
Gereja Protestan Indonesia bagian Barat (GPIB) Sion Jahab. Patane merupakan
kuburan yang sudah modern karena dibuat menyerupai rumah tembok alias batu yang
bahannya dari semen, batu, pasir, dan besi. Bentuk pemakaman ini beragam ada
yang berbentuk segi empat seperti sebuah box
hingga berbentuk peti mati dengan atap menyerupai rumah Tongkonan. Jenis
pemakaman ini terdapat di semua kampung Toraja dan mudah ditemukan di Sulawesi
Selatan. Mereka memperlakukan orang-orang yang telah meninggal layaknya orang
yang masih hidup, dengan diberikan tempat pemakaman yang menyerupai rumah dan
terkadang keluarga akan menyediakan makanan dan minuman di depan Patane. Dalam
kepercayaan masyarakat Toraja, pemakaman merupakan peristiwa ketika jiwa
seseorang akhirnya meninggalkan dunia ini dan memulai perjalanan panjang dan
sulit ke pooya, tahap akhir dari akhirat,
dimana jiwa akan bereinkarnasi. Maka untuk memudahkan perjalanan almarhum ke
akhirat inilah keluarga menyembelih sebanyak-banyak kerbau di tanah lapang yang
luas untuk dijadikan korban. Kerbau juga diyakini sebagai pembawa jiwa ke alam
baka dan hal itulah yang menyebabkan keluarga mengorbankan hewan itu sebanyak
yang mereka bisa untuk memudahan perjalanan almarhum ke
alam baka. Pada suku Dayak sendiri upacara adat ini dikenal dengan nama
Kwangkey, dimana kerbau akan ditombak beramai-ramai dan ditebas hingga mati di
lapangan yang luas.
Sumber: Salah satu Patane di pemakaman suku Toraja Jahab, Dokumentasi Penulis |
Jasad-jasad yang telah
diletakkan dalam Patane ini tidak akan diganggu atau dipindahkan tanpa alasan
yang darurat. Sedangkan berbeda dengan suku Dayak, mereka sengaja menunggu
jasad hingga tersisa tulang-belulang sebelum melanjutkan prosesi upacara adat
pemindahan tulang.
Sumber: Rumah Pemakaman Patane khas
suku Toraja, Dokumentasi Penulis.
2.
Patung
Blontang khas suku Dayak.
Berdasarkan kajian
ilmiah Latif (2013) Blontang merupakan tiang kayu yang tinggi, fungsinya untuk
mengikatkan atau menambatkan binatang korban (biasanya kerbau atau sapi) dalam
suatu upacara adat. Binatang ini ditusuk-tusuk agar darahnya menitis ke tanah di
sekeliling tiang Blontang, baru kemudian dipotong. Bapak Nathan Roppen
menambahkan bahwa “Menombak kerbau merupakan simbolisasi untuk mengakhiri
upacara adat tersebut, untuk di Jahab sendiri upacara Kwangkey mereka lakukan
di Gg. Menteng ada tanah lapang di atas gunung. Tapi belakangan ini sepi karena
belum ada lagi yang melaksanakannya. Upacara ini pun panjang, rangkaian
acaranya dapat terjadi dari 2 minggu hingga sebulan.”
Kemudian menurut
Santosa dan Bahtiar (2016) patung Blontang merupakan patung alat upacara yang
terbuat dari kayu ulin dan memiliki tinggi antara 2-4 meter dan dasarnya
ditancapkan kedalam tanah sedalam 1 meter. Masyarakat Dayak diketahui memiliki
kebudayaan yang unik dari sistem kepercayaannya hingga sistem
kemasyarakatannya. Motif yang diterapkan pada seni ukirnya bukanlah sekedar
hiasan bentuk saja melainkan sarat akan makna filosofis dan perlambangan
keyakinan dari masyarakatnya.
Sumber: Patung Blontang khas suku Dayak di kelurahan Jahab, dan
Dapat disimpulkan dari
berbagai definisi patung Blontang yang telah dipaparkan bahwa patung ini
sendiri memiliki berbagai fungsi tergantung dari masyarakat yang
menggunakannya. Dalam upacara adat kematian suku Dayak atau yang disebut dengan
Kwangkey patung ini dapat beralih fungsi sebagai alat kelengkapan upacara untuk
mengikatkan atau menambatkan hewan korban. Sedangkan patung Blontang yang
diletakkan di pemukiman warga berfungsi sebagai simbol penghormatan keluarga
terhadap almarhum yang telah meninggal. Patung Blontang pun dibuat berdasarkan
kesan yang melekat pada diri almarhum dan menggambarkan pekerjaan yang
dilakukan selama dirinya hidup. Jika sebagian besar mata pencaharian almarhum
untuk bertahan hidup adalah berburu maka patung Blontang orang tersebut akan
disertai ukiran busur, panah, Mandau, tombak,
dan perkakas berburu lainnya. Jika pada patung tersebut juga terdapat
ukiran hewan seperti anjing, maka orang tersebut telah menjadikan peliharaan
anjingnya sebagai teman pendamping seumur hidup. Atau simbol-simbol hewan
lainnya dapat mewakili gambaran sikap pemberani, patriotisme, dan bertanggung
jawab. Selain sebagai bentuk penghormatan, patung Blontang juga dapat berfungsi
sebagai penjaga rumah atau kampung. Arah patung menghadap dan ukiran yang
terdapat pada patung menyimpan setiap pesan yang ingin diabadikan keluarga
sebagai penyanjungan terhadap almarhum.
Walaupun
demikian kentalnya budaya adat dalam memperingati kematian, Bapak Nathan Roppen
menegaskan bahwasannya hal ini (upacara adat suku Toraja dan
suku Dayak) tidak selalu wajib dilakukan oleh anggota kesukuan masing-masing. Pertimbangan
dikembalikan lagi kepada kesediaan keluarga yang melangsungkan upacara adat
tersebut, karena biaya yang harus dirogoh tentu tidak sedikit untuk
mempersiapkan segala alat kelengkapan upacara berikut hewan korbannya.
Begitulah gambaran toleransi dalam kehidupan kemasyarakatan warga Jahab, di
satu sisi budaya keadatan begitu dijaga dalam kesehariannya namun tidak
menuntut adanya keharusan untuk melaksanakannya jika dirasa memberatkan. Adat
juga tidak luput sebagai solusi dari penyelesaian masalah yang terjadi diantara
warga Jahab, konflik-konflik warga
masih diselesaikan dengan mediasi berdasarkan pertimbangan hukum adat
masing-masing.
Selain kehidupan
keseharian dan budaya yang terbalut dalam kesederhanaan, sebagian besar mata
pencaharian warga juga masih bergantung pada ketersediaan sumber daya alam yang
ada. Pekerja perusahaan sendiri belum
begitu banyak, karena masih banyak mata pencaharian dari sumber daya alam yang
digeluti oleh masyarakat sebagai sumber penghasilan sehari-hari. Disamping
itu Jahab juga memiliki kekayaan budaya lainnya yang mungkin tidak terjamah
oleh dunia luar, mengingat keberaneka ragaman suku yang hidup berdampingan di
Jahab, tidak menutup kemungkinan bahwa desa ini masih memiliki seribu pesona
tersembunyi yang belum dieksplorasi secara optimal. Wacana pengembangan Jahab
menjadi desa budaya juga telah dicanangkan desas-desusnya untuk mendirikan
Lamin khas suku Dayak dan rumah adat suku Toraja. Tidak hanya pengembangan
potensi desa dalam hal budaya tetapi juga telah dicetuskan wacana pemekaran
beberapa daerah disekitar Jahab untuk bergabung dan membentuk sebuah kecamatan
tersendiri, kelurahan ini adalah Jahab, Loa Ipuh Darat, Bukit Biru, separuh Loa
Ipuh Kota, dan Jonggon. Harapan setiap warga adalah Jahab dapat menjadi daerah
yang terus berkembang maju dengan segala kesederhanaan dibalik potensinya
Sumber:
(Kiri) Bapak Nathan Roppen sebagai Tokoh Masyarakat setempat dan (kanan)
Penulis, sesi wawancara bersama Bapak Nathan Roppen, Tokoh Masyarakat, 17 Juli
2018, Dokumentasi Penulis.
Penulis: Rabiatul Munawarah.
Referensi:
[1]http://www.negerikuindonesia.com/2015/10/tari-pagellu-tarian-tradisional-dari.html?m=1
[2]http://www.bbc.com/indonesia/majalah-39638082&hl=id-ID
Latif, F. 2013. Tarian dan Topeng Hudoq
Kalimantan Timur: Suatu Kajian Filsafat Seni.
Jurnal Humaniora, 4(1): 712-722.
Santosa, H., dan Bahtiar, T. 2016. Mandau
Senjata Tradisional Sebagai Pelestari Rupa Lingkungan Dayak. Jurnal Seni dan Desain serta Pembelajarannya,
2(2): 47-56.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar